Saat
ini, Indonesia menghadapi tantangan gizi ganda: di satu sisi masih ada kasus
stunting, sementara di sisi lain angka obesitas anak mulai meningkat. Menurut
data dari Kemenkes (SSGI 2022), di kelompok usia 5–12 tahun, sekitar 10,8% anak mengalami kelebihan
berat badan (gemuk), dan
9,2% termasuk obesitas.
Di kelompok remaja (13–15 tahun), angka gemuk dan obesitas tercatat sekitar 16%,
sedangkan di usia 16–18 tahun sekitar 13,5%.
Di
tengah derasnya arus modernisasi dan perubahan gaya hidup, obesitas pada anak
menjadi salah satu masalah kesehatan yang semakin mengkhawatirkan. Banyak orang
tua sering kali menganggap anak yang gemuk sebagai tanda sehat dan lucu,
padahal kenyataannya kondisi tersebut bisa membawa dampak serius bagi tumbuh
kembang si kecil, baik secara fisik maupun emosional.
Obesitas terjadi ketika tubuh anak
memiliki timbunan lemak berlebih akibat ketidakseimbangan antara asupan energi
dan energi yang digunakan. Pola makan tinggi kalori, kurangnya aktivitas fisik,
serta kebiasaan menghabiskan banyak waktu dengan gawai atau televisi adalah
faktor utama yang memicu masalah ini. Data kesehatan menunjukkan, angka
obesitas anak terus meningkat dari tahun ke tahun, dan menjadi perhatian serius
bagi banyak negara, termasuk Indonesia.
Dampak obesitas pada anak tidak bisa
dianggap sepele. Secara fisik, anak berisiko mengalami berbagai penyakit tidak
menular sejak dini, seperti diabetes tipe 2, tekanan darah tinggi, hingga
gangguan pernapasan saat tidur. Lebih dari itu, obesitas juga dapat mengganggu
perkembangan tulang dan sendi karena beban tubuh yang berlebihan. Dari sisi
psikologis, anak yang obesitas kerap menjadi korban perundungan atau merasa
rendah diri, yang pada akhirnya memengaruhi kesehatan mental serta prestasi
belajar mereka.
Lingkungan keluarga memegang peranan
penting dalam pencegahan obesitas. Anak-anak biasanya meniru pola makan orang
tuanya. Konsumsi makanan cepat saji, camilan manis, atau minuman bersoda yang
berlebihan tanpa disadari menjadi kebiasaan sehari-hari. Padahal, tubuh anak
membutuhkan gizi seimbang yang mencakup sayuran, buah-buahan, protein
berkualitas, dan karbohidrat kompleks. Perubahan kecil, seperti menyediakan bekal
sehat dari rumah, mengurangi jajanan tidak bergizi, serta membatasi konsumsi
gula, dapat memberikan dampak besar terhadap kesehatan anak.
Selain pola makan, aktivitas fisik juga
sangat menentukan. Anak-anak masa kini lebih sering menghabiskan waktu di depan
layar dibandingkan bermain di luar ruangan. Kurangnya aktivitas menyebabkan
energi tidak terbakar optimal, sehingga menumpuk menjadi lemak. Oleh karena
itu, orang tua perlu mengajak anak lebih aktif, misalnya dengan bersepeda,
berenang, atau sekadar jalan kaki bersama. Aktivitas sederhana ini bukan hanya
menyehatkan tubuh, tetapi juga mempererat ikatan emosional dalam keluarga.
Sekolah pun memiliki peran penting dalam
upaya menekan angka obesitas anak. Melalui program pendidikan kesehatan,
sekolah bisa menanamkan kesadaran tentang pentingnya makan sehat dan
berolahraga. Penyediaan kantin sehat, kegiatan olahraga rutin, serta pembatasan
jajanan tinggi gula dan lemak di lingkungan sekolah akan sangat membantu
membentuk kebiasaan baik sejak dini.
Pada akhirnya, obesitas pada anak
bukanlah sekadar masalah penampilan, melainkan ancaman kesehatan jangka panjang
yang harus ditangani bersama. Dengan perhatian lebih dari keluarga, sekolah,
hingga masyarakat, anak-anak dapat tumbuh sehat, aktif, dan percaya diri.
Mengajarkan pola hidup sehat sejak dini adalah investasi terbaik agar generasi
mendatang terbebas dari jerat penyakit yang bisa dicegah.
Komentar